Kajian Penduga Muka Air Tanah untuk Mendukung Pengelolaan Air pada Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut: Kasus di Sumatera Selatan

By Ngudiantoro – (Disertasi Doktor Institut Pertanian Bogor, 2009), Dibimbing oleh Hidayat Pawitan, Muhammad Ardiansyah, M. Yanuar J. Purwanto, dan Robiyanto H. Susanto.

Lahan rawa pasang surut memiliki potensi yang besar dan prospek pengembangan yang baik, serta merupakan salah satu pilihan strategis sebagai areal produksi pertanian guna mendukung ketahanan pangan nasional. Reklamasi atau pengembangan lahan rawa pasang surut untuk pertanian telah dilakukan pemerintah sejak tahun 1970-an. Pada awal reklamasi, sistem jaringan tata air yang dibangun masih merupakan sistem jaringan terbuka dengan fungsi utama untuk drainase. Pengaturan tata air sepenuhnya masih bergantung pada kondisi alam, sehingga kemampuan pelayanan tata air masih sangat rendah. Pada sistem jaringan terbuka, tipe luapan air pasang menjadi pertimbangan utama dalam penerapan sistem usahatani. Dengan dibangunnya infrastruktur pengendali air (pintu air), maka beberapa pokok persoalan teknis mulai dapat dipecahkan, namun dalam pelaksanaannya masih terhambat oleh kondisi yang beragam di lapangan.

Berbagai pemikiran dan penelitian terus dilakukan dalam upaya peningkatan produksi pertanian dan indeks pertanaman (IP). Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa pengelolaan air merupakan kunci keberhasilan dalam pengembangan pertanian lahan rawa pasang surut. Pengelolaan air dapat mengendalikan kondisi muka air tanah di petak lahan yang fluktuatif. Namun demikian, pengelolaan air masih terkendala oleh kondisi infiastruktur pengendali air yang belum memadai. Sebagian besar jaringan tata air di daerah reklamasi rawa pasang surut masih belum dilengkapi dengan infrastruktur pengendali air yang memadai. Tanpa pintu air, terutarna di saluran tersier, maka pengendalian muka air tanah di petak lahan akan sulit dilakukan. Selain itu, teknik yang diterapkan juga masih bergantung pada pengamatan muka air tanah secara langsung di lapangan, yaitu dengan membuat sumur-sumur pengamatan. Meskipun memiliki akurasi yang tinggi, namun pengamatan secara langsung memerlukan waktu, tenaga, dan biaya yang besar. Informasi yang diperoleh juga terbatas pada titik pengamatan dan jangka waktu pengamatan tertentu. Oleh karena itu, perlu dibangun suatu model penduga muka air tanah, sehingga kondisi muka air tanah di petak lahan dapat diketahui secara cepat melalui parameterparameter model sebagai prediktor.

Penelitian bertujuan untuk: 1) Mempelajari karakteristik lahan rawa pasang surut menurut kondisi hidrotopografi lahan; 2) Pemodelan muka air tanah pada lahan rawa pasang surut: membangun model penduga muka air tanah di petak tersier, menduga kedalaman muka air tanah di petak tersier, dan membangun skenario pengaturan tata air untuk pengendalian muka air tanah di petak lahan; serta 3) Membangun strategi pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan pada lahan rawa pasang surut untuk mendukung peningkatan produksi pertanian dan indeks pertanaman (IP).

Penelitian lapangan telah dilakukan selama 24 bulan, yaitu dari bulan April 2006 hingga Maret 2008. Lokasi penelitian berada di daerah reklamasi rawa pasang surut, yaitu di petak tersier 3 P8-12s dan petak tersier 3 P6-3N Delta Telang I, serta di petak tersier 3 P10-2s Delta Saleh. Ketiga lokasi tersebut terletak di Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Pemilihan lokasi didasarkan atas perbedaan kondisi hidrotopografi lahan, yaitu lahan tipe Ah3 (P8-12S), tipe BIC (P6-3N), dan lahan tipe C/D (PI 0-2s).

Hidrotopografi lahan merupakan perbandingan relatif antara elevasi lahan dengan ketinggian muka air di saluran. Lahan tipe A selalu terluapi oleh air pasang, baik pasang besar (terjadi pada musim hujan) maupun pasang kecil (terjadi pada musim kemarau), sedangkan lahan tipe B hanya terluapi oleh air pasang besar saja. Lahan tipe C tidak terluapi oleh air pasang, baik pasang besar maupun pasang kecil, tetapi muka air tanah di petak lahan masih dipengaruhi oleh fluktuasi air pasang. Pada lahan tipe D, selain tidak terluapi air pasang, muka air tanah juga tidak terpengaruh oleh fluktuasi air pasang.

Tanpa irigasi, surnber air utama pada lahan rawa pasang surut berasal dari air hujan dan air pasang di saluran. Pemasukan air ke petak lahan dengan memanfaatkan potensi air pasang dapat dilakukan pada lahan tipe A dan B, sedangkan pemasukan air pada lahan tipe C dan D sulit dilakukan karena permukaan lahan relatif lebih tinggi dibandingkan muka air pasang di saluran. Kedalaman muka air tanah pada lahan tipe C dan D dapat dipertahankan dengan teknik retensi air.

Pengendalian muka air tanah pada lahan rawa pasang surut merupakan suatu proses kunci yang hams dilakukan dengan tepat melalui pengelolaan air, baik di tingkat makro maupun rnikro. Pengelolaan tata air mikro akan menentukan secara langsung kondisi lingkungan bagi pertumbuhan tanaman. Dalam pengelolaan air, setiap petak tersier merupakan satu unit sistem pengelolaan air. Tanpa infrastruktur pengendali air, teknik pengelolaan air pada lahan rawa pasang surut dilakukan secara gravitasi dengan memanfaatkan potensi luapan air pasang ke lahan. Teknik ini sangat bergantung pada kondisi hidrotopogafi lahan, sehingga kemarnpuan pelayanan tata air masih sangat rendah. Pada jaringan tata air yang dilengkapi dengan pintu air, terutama di tingkat tersier, maka pengelolaan air seperti pemasukan air, drainase, dan retensi air dapat dilakukan dengan baik sehingga sistem usahatani yang diterapkan dapat optimal.

Pemodelan muka air tanah merupakan salah satu upaya untuk mendukung pengelolaan air, terutama di tingkat mikro. Model penduga muka air tanah di petak tersier lahan rawa pasang surut telah dapat dirumuskan. Dengan model tersebut, maka tinggi muka air tanah pada jarak x dari saluran (h(x)) dapat diduga melalui beberapa parameter model, yaitu: tinggi muka air di saluran tersier (hw), curah hujan (R), evapotranspirasi (ET), konduktivitas hidrolik tanah (K), jarak antar saluran tersier (2s), dan lebar saluran (l).

Hasil simulasi menunjukkan bahwa model yang dibangun dapat menduga kedalaman muka air tanah di petak lahan dengan hasil yang cukup baik. Proporsi keragarnan kedalaman muka air tanah yang dapat dijelaskan oleh model yaitu sebesar 89,5% hingga 98,7% dengan galat baku pendugaan 0,021-0,042 meter. Model penduga muka air tanah yang dibangun memiliki sensitivitas tinggi terhadap parameter tinggi muka air di saluran tersier. Perubahan yang terjadi pada h, akan menyebabkan terjadinya perubahan pada h(x) dengan besaran yang sama. Sementara itu, pengaruh parameter R dan ET terhadap perubahan h(x) relatif kecil. Perubahan h(x) oleh R atau ET yang cukup nyata hanya terjadi pada lahan yang letaknya relatif jauh dari saluran.

Skenario pengaturan tata air untuk pengendalian muka air tanah di petak lahan telah dibangun dalam penelitian ini berdasarkan model penduga muka air tanah yang telah dihasilkan. Kondisi muka air tanah di petak lahan dapat dikendalikan melalui pengaturan tinggi muka air di saluran tersier. Selanjutnya, strategi pengelolaan sumber daya dam dan lingkungan pada lahan rawa pasang surut yang ditekankan pada aspek pengembangan sistem usahatani dan pengendalian lapisan pint dibangun melalui teknik pengendalian muka air tanah.

Pada pertanian lahan rawa pasang surut, tanaman akan tumbuh dan berkembang dengan baik apabila kedalaman muka air tanah dapat diatur sesuai dengan zona perakaran tanaman, dan pirit yang ada di dalam tanah tidak teroksidasi. Penman muka air tanah hingga di bawah lapisan tanah yang mengandung pirit akan menyebabkan terjadinya oksidasi pirit yang menghasilkan senyawa sulfat. Asam sulfat bersifat racun, sehingga dapat mengganggu pertumbuhan tanaman. Oksidasi pirit dapat dikendalikan dengan menekan kandungan oksigen yang tersedia di dalam tanah, yaitu dengan mengatur kedalaman muka air tanah.

Secara teknis, pengendalian muka air tanah juga dapat meningkatkan indeks pertanaman (IP) pada lahan rawa pasang surut. Pada lahan tipe A, usahatani padi dapat dilakukan 2 kali dalam setahun, potensi luapan air pasang cukup mendukung ketersediaan air bagi tanaman pada MT TI. Kondisi yang sama juga dapat dilakukan pada lahan tipe B, namun untuk mendukung ketersediaan air pada MT I1 perlu dilakukan retensi air. Pada lahan tipe C dan D, usahatani padi sulit dilakukan 2 kali dalam setahun, sebab sumber air yang utama hanya berasal dari air hujan, sedangkan potensi luapan air pasang tidak dapat menjangkau lahan. Kegiatan usahatani yang dapat dilakukan pada MT I1 yaitu tanaman palawija. Untuk MT 111, kegiatan usahatani palawija dapat dilakukan pada semua tipe lahan. Namun demikian, pemasukan dan retensi air untuk mendukung ketersediaan air bagi tanaman hams memperhatikan kualitas air, karena pada musim kemarau dapat terjadi intrusi air asin.

Agar kondisi muka air tanah dapat mendukung sistem usahatani, maka perlu dibuat panduan pengoperasian pintu air di saluran tersier sesuai dengan sistem usahatani yang diterapkan. Penelitian lanjutan tentang sistem telemetri dan rekayasa sistem kontrol (bangunan pengendalian air) di saluran tersier dapat melengkapi model dan teknik pengendalian muka air tanah yang telah dibangun.

Selanjutnya, keberhasilan dan keberlanjutan pengembangan pertanian lahan rawa pasang surut hams didukung dengan infiastruktur pengendali air yang memadai, operasi dan pemeliharaan jaringan dengan penguatan kelembagaan P3A (Perkumpulan Petani Pemakai Air), serta pengenalan dan implementasi sistem usahatani. Peningkatan kemampuan dan pemberdayaan, serta partisipasi masyarakat perlu dilakukan secara berkesinambungan melalui berbagai sosialisasi dan pelatihan, baik dari aspek teknis maupun non teknis.

By | 2012-04-02T13:56:15+00:00 April 2nd, 2012|Penelitian S3|0 Comments

About the Author:

Leave A Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.